09 Sep 2016, 00:00
Mengutip pernyataan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bukittinggi, Melfi Abra pada liputan sebuah media online yang menyebutkan bahwa Pemerintah Kota Bukittinggi menargetkan 550.000 kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara ke wilayah tersebut pada 2016 patut mendapat dukungan.(antara sumbar 12/1)
Artinya dalam setiap minggu setidaknya ada sekitar 11.500 orang berkunjung ke Bukittinggi. Target yang tak mudah sebenarnya untuk direalisasikan menilik pada kondisi real yang terjadi dilapangan. Meskipun hingga saat ini pembenahan demi pembenahan terus dilakukan, namun belum mampu memberikan kepuasan secara lebih.
Sebut saja parkir dan akses jalan, persoalan sampah, ketersediaan ruang publik dan fasilitas umum termasuk penginapan dan tingginya harga makanan yang masih dibutuhkan penanganan dan perhatian khusus untuk dituntaskan.
Tingginya angka target diatas tentu harus berbanding lurus dengan angka harapannya. Angka tersebut dipastikan muncul oleh berbagai sebab. Semisal adanya paradigma baru tentang Kota Bukittinggi sebagai kota milik dunia. Kota Bukittinggi yang mencuri hati banyak orang didunia untuk disinggahi.
Ketika Bukittinggi disinggahi, sebagai warga kota yang bijak tentu hal ini menjadi tantangan sendiri. Aneka rupa suguhan kemajuan zaman masuk dan berlalu lalang. Invasi ilmu pengetahuan dan teknologi telah dirasakan memborbardir disegala lini kehidupan. Kesemuanya itu telah memberikan gradasi warna baru bagi kemajuan Bukittinggi.
Warga kota harus sadar bahwa eksistensi Kota Bukittinggi hingga saat ini tak terlepas dari peran besar pengunjung kota. Mereka datang dan membangun fisik kota seperti fasilitas perbelanjaan, pusat studi dan keagamaan, tempat hiburan dan sebagainya.
Namun sejauh mana Bukittinggi memberikan feedback terhadap kondisi itu. Sudah terlalu lama Bukittinggi berpaku dengan pesonanya. Bukittinggi yang belum mampu memberikan layanan maksimal yang seyogyanya dapat dijadikan peluang.
Bukittinggi masih tertinggal dari kota-kota lain di Indonesia, sebut saja Yogyakarta. Dengan kesederhanaannya, Yogyakarta mampu mencuri perhatian dunia. Tak tanggung-tanggung 3,4 juta orang berkunjung di tahun 2015.
Pertanyaannya sekarang mampukah Bukittinggi mengejar target Yogyakarta? Tentu tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Semua tergantung dengan kesiapan warga Bukittinggi itu sendiri. "Tapuak dado, tanyo salero".
Tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) harus dijadikan peluang. Roda ekonomi akan diajak berpacu lebih kencang. Nyatanya warga Kota Bukittinggi tidak sedikitpun tertinggal.
Namun masih saja berbagai dampak negatif menjadi momok yang menakutkan. Dampak negatif kemajuan zaman tersebut dikhawatirkan akan menggerus nilai-nilai kearifan lokal.
Sepertinya hal itu sulit terjadi. Hingga saat ini saja masih dirasakan begitu kental adat istiadat minangkabau di kehidupan masyarakatnya. Ranah rang kurai ini sangat disegani dan tetap menjadi referensi adat di Sumatera Barat. Seperti halnya Yogyakarta dengan tradisi dan adatnya yang masih terjaga.
Kini mampukah warga kota bersikap bijak ketika para investor datang dengan membawa sejuta hal baru. Teknologi-teknologi canggih diperkenalkan. Sarana perbelanjaan, pusat industri dan studi dengan konsep baru. Suguhan kuliner dan hiburan kekinian, termasuk konsep wisata dan transportasi terbaru yang belum ada sebelumnya. Semua dikembalikan lagi kepada kesiapan warga kota.
Pemerintah pasti tak akan gegabah bersikap. Regulasi dan kebijakan tentu akan berpihak kepada warga kota. Termasuk pada tatanan wisata Bukittinggi yang tetap berada dalam koridor wisata halal mendukung program aksi pemerintah Sumatera Barat. (safei/kominfo).
Sumber : http://bukittinggi.top/2016/09/bukittinggi-menggali-asa-dibalik-tantangan-keapriorian.html
Komentar
Pemerintah Kota Bukittinggi
Komentar