22 Apr 2016, 00:00
Mengikis Konflik atau Masihkah Ada Dualisme Kekuasaan
dalam Pengelolaan SDA di Nagari Sumatera Barat
Lahirnya Perda. Sumbar No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, diharapkan berupaya mempertegas bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan SDA di Ulayat Nagari di Sumbar. Program-program pembangunan daerah terutama pembangunan ekonomi berdasarkan pada pembangunan berkelanjutan, yang menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut; (1) untuk kesejahteraan rakyat yang merata dan berkeadilan, (2) berdasarkan kemampuan daya dukung SDA, lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK. (3) berdasarkan prinsip kemitraan antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi dengan swasta dan pemerintah. (4) menerapkan prinsip efisiensi dan keunggulan komparatif dan kompetitif dari produk andalan tertentu dengan mengakomodasi kemajuan teknologi. (5) berdasarkan keterbukaan ekonomi sesuai dengan perkembangan ekonomi global (6) menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga dapat memacu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. (7) pencepatan pembangunan infrastruktur uintuk memperlancar, mempercepat mobilitas orang dan barang.
Dari prinsip-prinsip diatas terlihat bahwa pembangunan ekonomi Sumatera Barat diprioritaskan pada pengelolaan SDA dengan pola keterbukaan ekonomi atau integrasi pada ekonomi global. Kesejahteraan bersama merupakan sejatinya harapan anak-kemenakan di Sumatera Barat, bermodalkan Sumber Daya Alam melimpah di ulayat nagari yang dianugerahkan Allah SWT. Mungkinkah sejatinya harapan ini akan terwujud dengan sendirinya ? tanpa adanya kebijakan dari semua pihak yang memiliki otoritas kekuasaan dalam pengelolaannya. Tentulah sudah seharusnya kita akan membicarakan pucuk pimpinan di daerah Kabupaten/ Kota, dan terkhususnya pucuk pimpinan di pemerintahan Nagari dan Ninik Mamak yang diamanahi pengelolaan ulayat Nagari. Teringat sebuah makalah yang dikemukan sosiolog Unand Prof. DR. Afrizal, MA pada Seminar dan Lokakarya, 25 Juli 2006 di Bukittinggi, beliau mengemukakan masih terlihat konflik dualisme pengelolaan kehidupan komunitas antara negara dan komunitas adat. Sampai saat ini cermatan Prof. Afrizal ini masih relevan dan terjadi dibebarapa daerah di Sumbar, dimana penulis melihat fenomena pengelolaan SDA di ulayat nagari belum maksimal memberikan kesejahteraan masyarakat nagari, dengan asumsi dan melihat indikasi masih banyak pemerintah nagari yang belum bisa maksimal dalam pemanfaatan potensi SDA di wilayahnya, masih tergantungnya jalan pemerintahan nagari dari dana alokasi yang diberikan pemda, kemudian adakah peraturan nagari yang dilahirkan untuk mengayomi pengelolaan SDA di wilayahnya. Mungkinkah masih adanya dualisme kekuasaan dalam pengelolaan SDA di nagari, kalau asumsi penulis terbukti adanya tentunya konflik antara lisme kekuasaan yang ada masih terjadi dalam pengelolaan SDA di nagari.
Banyak pakar telah mengemukakan, masih terjadinya tarik ulur kepentingan pemegang kekuasaan, antara Pemerintah Daerah dengan upaya konstribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pemerintahan Nagari dengan asumsi pendapatan asli nagari dan tidak ketinggalan komunitas adat dengan hak ulayat yang dimilikinya. Potensi konflik antara pemangku kekuasaan ini masih terlihat sangat rentan terjadi, kepentingan ekonomi materialis masih bisa dikatakan sebagai akar lahirnya konflik. Konflik itu mungkin terjadinya antara tingkatan pemerintah, antara pemerintah dengan komunitas adat, komunitas adat dengan investor atau antara sesama komunitas adat.
Menyibak persoalan di atas, alangkan baiknya kita mencoba melihat konsep konflik secara sosiologis yang dikemukakan Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Karl Marx melihat konflik merupakan pertentangan kepentingan antara dua kelas (kelas borjuis dan kelas proletar), dimana perbedaan kepentingan nyata dan struktural karena dia diproduksi struktur ekonomi kapitas. Sedikit berbeda dengan Dahrendorf konflik merupakan pertentangan kepentingan antara dua kelas (kelas pemegang otoritas dengan kelas yang tidak punya otoritas), adanya struktur sosial berakibat otoritas yang timpang dalam masyarakat, ada kelompok yang punya otoritas dan kelompok yang tidak punya otoritas. Dimana pemegang otoritas berusaha mempertahankan status quo, dan dilain pihak orang yang berada pada posisi berupaya mengadakan perubahan status qou tersebut. Semua ini disebabkan oleh setiap peran memiliki harapan-harapan yang bertentangan yang melekat pada peran tersebut Dari kedua defenisi ini terihat bahwa konflik sebagai pertentangan kepentingan material maupun non-material, kepentingan itu nyata dan menjadi persoalan struktural. Pertanyaannya yang muncul sekarang adalah, apakah konflik pengelolaan SDA yang terjadi di nagari lahir dari adanya pertentangan kepentingan seperti yang dikemukakan Karl Marx dan Ralf Dahrendorf ? tentulah untuk menjawab persoalan ini diperlukan penelitian yang mendalam, sehingga akar persolaannya dapat terkuak dengan jelas.
Bagaiman adat Minangkabau berbicara dalam pengelolaan SDA.
Kepemilikan SDA diminangkabau pada prinsipnya merupakan kepemilikan komuninal, baik yang dikuasai secara dan oleh kaum maupun dalam ulayat nagari. Adat Bumi Bondo Kanduang telah menyatakan prinsip yang dipertahankan adat itu ialah kebersamaan, kekerabatan dan kesederjatan dan tentunya menghilangkan individualisme. Dimana kepemilikan komuniti itu; milik bersama, kepentingan bersama, malu bersama dan sebagainya, banyak dibagi baumpuak, ruyuang samo dibalah, sagu samo dibagi, kabukik samo mandaki, ka luruha samo manurun, barek sapikua, ringan samo dijinjiang. Kemudian juga mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas atau di dalam tanah tersebut, yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat. Sehingga masyarakat hukum adat dalam masyarakat Minangkabau menyatakan hak ulayat merupakan aset yang menandakan mereka adalah orang Minang. Hak-hak yang ada dalam masyarakat Minangkabau boleh saja dinikmati oleh semua orang dengan ketentuan adat bahwa kabau tagak kubangan tingga, luluak nan sado tabaok dek badan, dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando (dimana hak ulayat dalam masyarakat Minangkabau tidak boleh dijual dan digadaikan, jika dimanfaatkan oleh warga, maka yang diambil hasilnya saja, sedang hak tersebut tetap tinggal pada pemiliknya yaitu masyarakat sendiri).
Mungkin bagaimana solusinya ?
Penulis melihat apapun persoalan yang terjadi, tentunya harus dilihat dari akar strukturalnya, kalau kita mau menjelaskan konflik yang sesungguhnya maka kita harus mendiskripsikan kondisi-kondisi nyata yang menghasilkannya. Model analisis Segitiga (Triangle) J. Galtung menjelaskan konflik itu akan hebat apabila ketiga elemen ini ada, pertama, adanya pertentangan kepentingan (contradiction), kedua, persepsi pihak yang berkonflik satu sama lain tentang dirinya (attitude) dan ketiga, perbuatan-perbuatan pihak yang berkonflik (behaviour). Bertolak dari konsep J. Galtung ini, harapan kita adalah agar semua stakeholders yang mempunyai otoritas dalam pengelolaan SDA tidak terjebak dan masuk kedalam tiga elemen tersebut. Disamping itu tentunya semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan SDA meyakini dan dimulai dengan niat bahwa kesejahteraan bersama merupakan sejatinya tujuan dalam melahirkan sebuah kebijakan. Dan secara struktural tentunya Negara (pemerintah daerah baik daerah maupun pusat dan pemerintah nagari), komunitas adat dengan fungsionarisnya harus duduk bersama dalam menetapkan hak dan kewajiban masing-masing, kepemilikan aset secara bersama adalah salah satu alternatif dalam menentukan hak masing-masing, dan tentunya harus ada kelegowoaan dalam pembagian kepemilikan aset/saham tersebut, akankah suatu saat masyarakat adat mempunyai kepemilikan aset/saham pada sebuah pasar swalayan, atau dalam sebuah perusahaan yang berdiri di ulayat sebuah nagari Sumatera Barat, dimana hasilnya bisa dinikmati oleh dan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.(Ahda Hidayat, S.Sos.M,Si/Kominfo)
Komentar
Pemerintah Kota Bukittinggi
Komentar